[Trip] Jogja Berhati Nyaman

Dalam buku Saksikan Bahwa Aku Seorang Muslim, Ustadz Salim bercerita tentang Jogja dan karakter orang-orangnya. Tapi saya tidak bisa mengingatnya persis, pun tidak memiliki bukunya untuk kembali saya buka, mengambil ceritanya dan menaruhnya sebagai prolog jurnal ini.

Senin pagi, 19 Desember 2011, saya kembali menginjakkan diri di tanah Jogja, lebih tepatnya di Yogyakarta karena saya singgah di Kulonprogo yang (kata Novia) tidak masuk daerah kotanya Jogja. Menghirup kesejukan subuh yang lembap dan dingin, langsung dihadapkan dengan wajah-wajah ramah yang memenuhi stasiun wates. Seketika perasaan saya hangat.

Kali pertama, saya ke Jogja demi studiwisata. Dibawa bus besar, bersama rombongan murid SMA, mengunjungi beberapa titik di Jogja. Menginap di penginapan daerah Kaliurang, mampir ke parangtritis, jalan-jalan malam di Malioboro, selebihnya tidak banyak yang bisa saya ingat. Saat itu, waktu perjalanan kami terpaket menjadi empat hari. Dan saya belum seperti ini, masih tidak membuka diri untuk lebih mengenal dan menikmati Jogja.

Kali kedua, saya ke Jogja –dengan waktu singkat- demi menghadiri workshop yang diselenggarakan BPPM Balairung UGM. Bertemu dengan pelaku pers mahasiswa dari banyak PTN, juga PTS. Dan saya lupa, menginap dimana ya waktu itu? Yang masih saya ingat, bertemu dengan banyak pribadi idealis. Mahasiswa-mahasiswa yang santai, suka mengopi dan merokok, menghabiskan malam dengan berdiskusi banyak hal. Lalu bersama-sama menyanyikan lagu heroik –ala mahasiswa idealis.

Dalam waktu singkat kala itu, saya sempat mampir ke Klaten. Dengan bantuan Prameks, mampir ke rumah Ijonk, sesama mabeng. Dan yang paling saya ingat adalah keputusan untuk pulang dengan mendadak. Terdorong sebuah sms ‘perintah’ yang sebenarnya ‘permintaan’ dari ketua kelas dan beberapa classmate, menyuruh saya pulang. Demi presensi kuliah, dimana pada matakuliah itu saya sudah hampir menghabiskan jatah absen. Malam itu juga, dari Klaten, saya pulang dengan kereta ekonomi malam. Sendirian. Dan saat itu, adalah kali pertama saya keluar Jakarta tanpa sesiapa. Kereta ekonomi pun, saat itu belum begitu bersahabat, saya tidak dapat tempat duduk. Dan akhirnya, disilakan sedikit ruang, biar tak lama bergelantungan.

Kali ini pun, singkat. Totalnya hanya tujuh jam, saya menghabiskan waktu di Yogyakarta. Menikmati lingkungan yang membesarkan Novia, mengambil sedikit pagi berjalan menyusuri daerah desa yang sepi. Menikmati ritmisnya anak sungai Progo, kemudian berfoto-foto. Lalu kembali ke rumah yang saya singgahi, menghabiskan waktu dhuha dengan memejamkan mata demi menghilangkan pusing di kepala. Lalu merapikan diri, mengambil janji untuk berkeliling di sebagian Yogyakarta sekali lagi.

Ibunya Novia, yang berwajah dan berhati ramah, mengantarkan saya hingga ke tempat untuk naik bis. Cukup jauh, menurut saya, meski Novia selalu bilang dekat. Dalam boncengannya, saya mendengarkan apa-apa yang disampaikannya tentang Novia, sembari berharap memupuk keakraban dan berdoa dalam hati untuk kembali bersilaturahmi. Lalu menikmati langit dari bis, sebelum dibonceng oleh Bela yang menunggu di perempatan dekat SMA Muhammadiyah.

Saya minta pada Novia, diantarkan ke Masjid Jogokariyan. Entah, saya hanya ingin tahu, seperti apa masjid itu. Sehidup apa lingkungan disekitarnya. Ketika disampaikan, Masjid Jogokariyan mengingatkan saya pada kompleks yayasan Al-Hikmah. Padahal bisa jadi, tidak ada kemiripan. Saya hanya mengandalkan perasaan untuk impresi singkat ini. Saya benar-benar hanya berkunjung, tanpa meninggalkan jejak shalat disana, sayangnya.

Lalu, kami beranjak untuk makan siang. Ditawari gudeg, tapi saya menolak. Saya ingin sesuatu yang lain. Tapi sayang, Bela ataupun Novia bukan seseorang yang sering jalan-jalan kuliner. Hingga akhirnya kami memutuskan untuk makan soto. You know what? masakan Jogja, yang selalu manis itu, cocok di lidah saya. Mungkinkah itu cuma perasaan saya, mencari-cari kecocokan dengan Jogja? Entah. Saya tidak menolak, bila kelak bisa beririsan dan memiliki jogja sebagai rumah kedua saya ^^v.

Lalu kami melewati Malioboro, menuju Beringharjo. Fokus! Ingin membeli rok. Didesak oleh persediaan sandang yang ‘agak’ seadanya, saya membawa pulang 2 rok batik. Yang kemudian saya pakai saat menuju semarang.

Terlihat agak maksa ya, pemberhentian di Jogja ini. Tapi saya begitu menikmati perasaan nyaman yang dihadirkan Jogja, menikmati langitnya yang luas, menikmati kepolosan saya yang menyebut huruf jawa sebagai huruf sansekerta, menikmati sensasi manis yang selalu ada dalam masakan Jogja, menikmati lambatnya saya beradaptasi dengan karakter berkomunikasi -berbahasa Jawa dan menikmati rindu untuk Jogja yang begitu cepat hadirnya.

Semoga bisa disampaikan kembali, ke Jogja berhati nyaman. Aamiin.

Author: Faraziyya

Ordinary. Nothing Extra.

4 thoughts on “[Trip] Jogja Berhati Nyaman”

Leave a reply to Faraziyya Cancel reply