Writing Challenge| Day 1

A Short Biography

Saya termasuk orang yang tidak suka mengekspos tentang diri saya. Bukan perkara saya butuh privasi, hanya saja tidak begitu banyak hal menarik dalam sejarah kehidupan saya hingga saat ini. Yah, meski menarik itu pun adalah judgment yang subjektif.

23 tahun 10 bulan yang lalu, siang hari yang jatuh pada hari Jum’at, saya terlahir ke dunia. Ibu saya bilang, ia merasakan kesulitan dan kepayahan dalam proses terlahirnya saya ke dunia. Salah satunya karena berat badan saya yang cukup besar, saat itu. Saya sangat senang mengetahui fakta bahwa saya terlahir di hari Jum’at, hari yang terlampau istimewa sebagai orang Islam. Terlepas dari bagus atau tidaknya menganggapkan suatu tanggal lahir itu menarik dan cantik, saya terlahir di kombinasi angka 1, 8 dan 9. Atau lebih tepatnya: 01-09-1989.

Masa batita, masa balita, adakah manusia yang bisa mengingat potongan kehidupannya yang terjadi pada kedua masa itu? Karena saya termasuk yang sangat tidak ingat apa yang terjadi pada kehidupan saya di usia batita dan balita. Kecuali saat saya beranjak dari usia 5 tahun. saya ingat bahwa sebelum saya dimasukkan ke Madrasah Ibtidaiyah terdekat, saya diajak belajar menulis oleh ayah saya. Tulisan beliau bagus dan rapi. Hal lain yang agak saya ingat, adalah bahwa sebagian besar pakaian saya adalah hasil jahitan ibu. Selebihnya, pakaian yang hasil beli kebanyakan kembaran dengan adik laki-laki saya yang usianya terpaut 2 tahun di bawah saya. Kalau tidak menggunakan baju-baju jahitan ibu, baju yang saya kenakan adalah baju yang ke-laki-laki-an.

Di usia SD, orangtua saya bersepakat menyekolahkan saya ke Madrasah Ibtidaiyah Jamiatul Huda yang letaknya hanya berjarak 500m dari rumah. Sebuah madrasah swasta yang tak banyak prestasi dan tak banyak murid unggul sehingga di sana mudah saja saya meraih gelar juara kelas selama beberapa tahun. Di tahun terakhir saya di sekolah tersebut, saya tercatat sebagai murid dengan NEM tertinggi. Tapi NEM tertinggi yang saya dapatkan jauh dari angka rerata NEM tertinggi di sekolah-sekolah lain. Jadi ya, saya tidak merasa bangga-bangga amat 😐

Saat liburan peralihan menuju jenjang SMP, saya memutuskan berjilbab. Alasannya sesederhana kenyataan bahwa semua kakak perempuan dan ibu saya berjilbab. Tapi nanti belakangan, saya memperbaiki dan memperbagus alasan saya berjilbab seiring dengan bertambahnya pengetahuan saya. Oh iya, hampir saja terlewat, sebelum akhirnya terputuskan bahwa saya meneruskan sekolah di Jakarta, terjadi pertengkaran yang menguras airmata antara saya dan ayah. Ayah ingin sekali saya masuk pesantren di luar Jakarta, mengikuti jejak abang saya. Tapi saya berpikir bahwa saya ini perempuan dan alangkah lebih baik untuk dekat dengan keluarga, Akhirnya hati ayah saya melunak, dan saya dimasukkannya ke Madrasah Tsanawiyah Al Hikmah, yang letaknya juga tak jauh-jauh amat dari rumah.

Lain dari MI saya, meski sama-sama sekolah Islam swasta, MTs Al Hikmah ini sekolah yang bagus. Seragam saya waktu itu adalah gamis dan kami murid perempuan diminta mengenakan jilbab yang menutup dada. MTs Al Hikmah, adalah bagian dari yayasan Al Hikmah yang saat itu dipimpin oleh KH Abdul Hasib. Yayasan yang kondusif, yang memfamiliarkan masjid sebagai pusat peradaban dan membudayakan kegiatan menghapal Al-Qur’an. Dari MTs Al Hikmah ini juga saya familiar dengan pemisahan murid laki-laki dan perempuan juga yang pertama kali mengenalkan saya pada kegiatan halaqah.

Well, sampai di usia SMP ini, apa saya punya sedikit cerita cinta monyet atau cerita taksir-menaksir anak adam? Ada. Dan, sejak MTs ini, tipikal laki-laki yang menarik hati saya jadi tergeneralisasi: kalem, terlihat pintar dan (biasanya) berkaca mata. Saat itu, saya baru mendaftar di sana, dan saya berpapasan dengan seorang remaja laki-laki berkaca mata dengan kulit bersih dan terlihat pendiam yang dipanggil Ari. Ya, dia crush pertama saya. Sampai sebatas gebetan, inget kan di MTs tempat saya bersekolah, pergaulan antara murid dan perempuan dibatasi 🙂

Yang lebih hebat dan membekas, yang terus terbawa sejak saat saya menjejaki masa SMP adalah seseorang bernama Scientia Afifah. Seseorang yang saya kagumi sekaligus saya cintai yang hingga saat ini, saya masih mengekor kabar tentangnya meski lewat dunia maya saja. Seseorang yang membawa saja menjadi seorang reader. Membuat saya bergitu berterimakasih padanya, karena secara tidak langsung berkatnya, saya begitu mencintai buku dan memiliki adiksi terhadap membaca.

Transisi, dan kini saya akan menceritakan kehidupan saya di masa SMA. Masa yang paling menyenangkan.

Tidak seperti pilihan sekolah Islami untuk jenjang SD dan SMP, saya bersekolah di SMA Negeri biasa. Sekolah umum. Itupun setelah mengurai tangis dan meyakinkan ayah saya bahwa saya akan mengurus sekolah saya, kali ini, sendirian. Mulai dari mendaftar hingga mengusahakan bersekolah lewat beasiswa. Ya, alhamdulillah Allah mengizinkan saya memenuhi kedua syarat tersebut.

Hingga SMA, tanpa bermaksud menyombong, saya tergolong ke pribadi yang menyenangkan dan memiliki banyak teman. Bahkan pada masa SMA, karakter korelis dan sanguinis saya lebih dominan. Saya begitu menikmati masa belajar dan bersenang-senang a la anak SMA. Saya menjaga untuk terus bisa berprestasi tanpa perlu kehilangan saat bersenang-senang. Saya termasuk ke golongan anak SMA yang berteman secara berkelompok. Tapi saya tidak terikat di satu kelompok saja melainkan beberapa. Cukup beredar? Hehhe. Bisa dibilang begitu. Dan ‘bonus’ yang saya dapatkan dari masa SMA ini adalah sahabat terkasih bernama Nurul Widiyastuti. Yang hingga kini setia menjadi tempat berbagi untuk saya.

Di tahun kedua SMA, masanya bersenang-senang, saya juga dibebankan kesempatan mengharumkan nama sekolah dengan menjadi peserta Olimpiade Sains Nasional. Percaya tidak, saya berjuang di OSN Fisika! Ya, Fisika! Padahal kecenderungan saya adalah Kimia, cuma ya mungkin tidak berjodoh dengan Kimia 😦 Saya mentok di 100 besar, peringkat 64 OSN Fisika, se-DKI Jakarta. Lumayan kan? Hehhe. Di tahun kedua ini juga saya cukup sering dijadikan role model oleh Guru BK, bahkan mata saya jadi model untuk Buku panduan Bimbingan Konseling SMA. Siapa yang akan bisa mengenali, coba? ._.

Lalu, ada cerita cinta masa SMA, Ziyy? Hoho. Ada. Tentu saja ada. Saya kan remaja normal yang kadang mudah tertarik dengan lawan jenis yang dianugerahi wajah menarik. *peace*

Lagi-lagi, cerita cinta sebelah tangan, maksudnya sampai taraf gebetan saja. Eh, sudah saya bilang belum? Saya berprinsip untuk ngga sepakat dengan ‘berpacaran’ kecuali setelah menikah. Meski begitu, punya cerita cinta monyet gapapa dong? 😛 Laki-laki ini dianugerahi Allah wajah yang komikal, saya  bahkan merasa dia adalah duplikasi karakter Sanosuke dari anime Samurai X. Tau kan? Namanya.. hm..  Defri. Bukan Delfi yang merk cokelat itu ya XD

Tersebutlah laki-laki ini, dengan wajah komikalnya, berperangai cool. Tapi jika sudah mengenalnya, dia adalah pribadi yang kocak. Saya mengenal dia di tahun kedua. Kami classmate. Dan seat dia berada dua meja di belakang saya sehingga di banyak kesempatan berkelompok, kami tertakdir untuk bersama. Ahh, menyukai Defri rasanya berbeda sekali dengan menyukai Ari dulu. Karena menyukai Defri lebih mengaduk-ngaduk perasaan tapi sekaligus membuat saya menulis. Puisi, tepatnya. yah, kalian boleh kok ketawa dengernya X)

Selama dua tahun saya menyimpan rasa untuk dia. Tanggapannya? Apa ya, karena memang tidak pernah ada pernyataan, kami hanya berteman. Meski ya, dia tahu perasaan saya. Dia tidak decline tapi juga tidak accept. Agak bikin patah hati ya dengernya? Tapi ngga juga sih, karena dia respek dan tidak menjauh meski tahu saya menyukai dia *senyum lebar karena jadi nostalgia*. Di akhir kebersamaan kami, sebelum liburan terakhir masa SMA, saya menyerahkan semua puisi yang saya buat tentangnya dalam sebuah buku bersampul biru. Sumpah! Sebelum nyerahin itu buku, malamnya saya ngga bisa tidur dan gelisah banget >.<

Kembali mesti bertransisi, dari kehidupan SMA, saya berhasil diterima di Jurusan Kimia Fakultas MIPA di UNJ.

Melenceng sebentar ya. Setelah saya berkuliah di UNJ, ada saat saya merasa tidak tepat melangkah. Tidak jeli dan tidak lebih berusaha mempersiapkan kehidupan kuliah di saat-saat akhir SMA saya. Mengapa dulu saya tak lebih memikirkan dan berhitung kemungkinan tentang jurusan atau ranah apa yang akan saya ambil? Mengapa pilihan kedua saya tidak disamakan saja, sama-sama Ui, yakni Kimia UI. Padahal ada kemungkinan di situ. Kenapa juga saya tidak masak-masak mempertimbangkan PMDK jurusan Administrasi Perbankan di Politeknik Negeri Jakarta tapi malah cepat memutuskan untuk melepaskannya?

Sebegitu kesalnya kah saya dengan kenyataan saya berkuliah Kimia di UNJ? Tidak juga, cuma dulu rasa-rasa seperti itu pernah mampir ke benak saya. Saya menikmati kok, satu tahun berkuliah Kimia di UNJ. Saya jadi mahasiswa yang aktif dan senang bersosialisasi. Saya juga lebih terbentuk menjadi akhwat berkat lingkungan yang saya dapati di sana. Dan yang paling penting, saya mendapatkan soulmate bernama Ika Mulia di sana.

Di tahun 2008, meski saya sudah berstatus mahasiswa di UNJ, saya mencoba peruntungan di USM STAN. Alhamdulillah, saya lolos. Terdorong kenyataan bahwa STAN adalah harapan ayah untuk saya, saya meninggalkan UNJ demi mengubah almamater dan menjadi bagian dari Akuntansi Pemerintahan STAN.

Di masa-masa menjadi mahasiswa STAN ini, lagi-lagi saya tak masak-masak memikirkan masa depan. Dan parahnya, saya kehilangan alasan untuk menjadi mahasiswa serius. Akibatnya? Saya divonis drop-out di akhir tahun kedua saya di sana. Hanya selang beberapa hari dari vonis DO tersebut, saya dapat ‘pelajaran kehidupan’ lain: Ibu saya meninggal (akhir September 2010).

Kadang hidup itu berputarnya seperti bianglala, ya? Sejak saat itu, cukup lama saya berkubang dan tidak beranjak. Saya tidak serta merta memikirkan keputusan lain yang saya buat menyangkut masa depan saya sendiri. Saya tidak langsung berkuliah lagi, malah saya menutup-nutupi kenyataan DO dari ayah saya. Hampir satu tahun kemudian hingga kenyataan itu terbongkar dan ayah saya menanggapinya dengan tangis.

Ketidakjelasan tentang apa yang saya perbuat dan apa yang ingin saya gapai ini, yang membuat kehidupan saya seolah tidak beranjak kemana-mana. Saya kebingungan, jika saya ingin meneruskan pendidikan, bidang apa yang saya ambil? Dari mana uangnya akan saya peroleh?

Di masa-masa itu, perlahan saya menarik diri dari teman-teman sekitar dan menjadi seorang penyendiri. Oh iya, sudah saya katakan belum? Saya jadi mudah ‘melakukan pelarian diri’ di saat-saat saya merasa tidak bisa mengendalikan kehidupan. Payah ya, saya?

Lalu kini, saya belum menjadi apa-apa lagi.

Dengan sangat menyesal, autobiografi ini perlu berhenti di sini.

Author: Faraziyya

Ordinary. Nothing Extra.

28 thoughts on “Writing Challenge| Day 1”

    1. belum habis beneran sih 😛
      anggap saja itu ringkasan bagian pertama calon buku autobiografi saya. hehhe XD

      Like

    1. ahiya, gue juga secara akademis merasa salah masuk kuliah di kesmas ui, tapi secara teman2 en pengalaman organisasi alhamdulillah sebaliknya. kalo boleh dibilang maybe justru itu lah kuliah yg sebenarnya, hihiii. En berkat salah jurusan juga gue makin tau ke mana sebetulnya passion gue. SEMANGAT, Ziy!

      Like

  1. Terimakasih sharingnya, ternyata pintar kimia. Saya bego banget sama pelajaran itu dan lebih suka akuntansi. Tapi oleh orangtua dan kakek diarahkan untuk masuk management, mau masuk antropologi dilarang krn dianggap tak bermasadepan. Sampai sekarang saya masih sebel dengan diri sendiri karena nurut. My Kuddos for you karena mendengarkan kata hati dan berhenti kita hati berkata ini tak sesuai.

    Like

  2. Tulislah sebuah buku .. denganya seorang yang pengecut bisa jadi pemberani .. dan ia tak perlu gelar apapun kan, semoga kau jadi penulis yang hebat !!

    Like

  3. huaa.. kamu hebat banget, ziyy, nulis autobio-nya.
    berhasil bikin aku terus baca sampai akhir dan kayak “eh?” pas udah selesai.
    semangat terus, ya! let’s make our dreams come true! 😉

    Like

    1. ah, zelly. biasa aja kok *blushing*
      an unfinished autobiography, lanjutannya mungkin ada cerita dimana akhirnya aku melahirkan novel soliter (aamiin)

      Like

  4. Ziyy… tabah yaa. Allah pasti kasih jalan yang terbaik kok buat kamu. Tetep semangat yaa *hugs*.
    BTW, jadi kepingin ikutan writing challenge ini. Nanti mampir ya ^_^

    Like

  5. Semangat ya zi, ada keinginan, selalu ada jalan, harus semangat menjalani kehidupan ini… Ya memang kadang kehidupan manusia terasa seperti bianglala, di atas di bawah, menjerit, histeris, tapi kemudian berganti dg rasa excited, semuanya sementara ^^

    Like

Leave a comment