Adakah aku, muara dari kesalahan itu?

Aku punya sahabat yang bersama denganku sejak masa MTs al-Hikmah dulu. Yang sama-sama berkomitmen untuk tidak berpacaran dan mengerti bahwa berpacaran adalah sebuah kesalahan.

Selepas SMA. Aku mendapat kabar yang tidak enak. Sahabatku itu ternyata berubah. Tak seperti dulu. Lakunya, penampilan bahkan komitmen dulu seolah telah terhapus. Ya. Kini dia telah berpacaran. Dengan seorang anak band yang adalah teman sekelasnya di kampus. Aku tergugu, menangis pilu. Merasa tertohok sekaligus bersalah yang tak berkesudahan. Ada apa gerangan di balik perubahan itu? Dia adalah sahabat yang aku iri dibuatnya karena perangainya yang baik. Tapi seolah kini kami berpindah tempat, bahkan dia sempat pernah merasa senjang bila bersamaku.

Pernah aku mencoba meluruskan. Dengan perlahan, semampuku, dengan caraku. Sampai kami menangis bersama. Menekuri kembali langkah-langkah bersamaan kami dulu. Dan setelah tangis itu, dia memutuskan hubungan. Entah badai apa lagi yang menempa, dia kembali melanjutkan hubungan itu dan aku merasa semakin jauh dengannya. Dengan cara yang paling halus sampai menanyakannya secara terang-terangan sudah ku lakukan. Dan pernah aku meminta nasihat, berdiskusi dengan sahabatku yang lain tentang bagaimana membawanya kembali? Tapi malah banyak pemakluman yang ku temui di akhirnya. Tentang sejauh mana aku bisa mencampuri kehidupannya itu juga menjadi keterbatasanku. Aku tidak tahu lagi, hingga saat ini aku masih begitu memikirkannya dan hanya mampu mengenangnya dalam do’a. Semoga Allah kenan berikan dia kembali.

Lalu, semasa kuliah di Kimia UNJ. Aku punya segelintir sahabat. ’ammah yang menjadi teman sepermainanku. Kami berenam. 3 orang belum berhijab. Aku mungkin baru sebatas membersamai mereka menganjurkan kebaikan atau mengingatkan hal-hal kecil. Ada satu yang special di antara mereka. Seorang sahabat yang sudah berhijab juga, yang pernah cerita padaku bahwa dia ingin berproses dan menjadi akhwat-akhwat yang dia kagumi. Di awal sekali, dia yang masih suka menggunakan celana Jeans, lama kelamaan mulai meninggalkan celana jeans dan menetap menggunakan rok. Hijabnya pun mulai diperhatikan. Menggunakan jilbab di dalam jilbab yang bahannya lebih tipis. Menyerasikan jilbab, rok dan pakaian. Kadang malah kami suka janjian. Menggunakan warna yang sama di hari yang sama. Sengaja mencari warna apa-apa yang kami punya dan sama, malah menjadwalkan harinya. Dia pernah berpacaran, tapi berpacaran membuatnya sakit dan belajar, sehingga dia bilang padaku dia tidak ingin mengulangi kesalahan itu. Aku bersyukur, itu datang dari mulutnya, dari kesadarannya. Aku hanya melengkapi dengan berbagi pengalaman dan pengetahuan. Hanya sebatas itu yang baru aku maksimalkan. Menjadi penjaga mereka atau pendengar mereka.

Lalu aku mesti berpisah dengan sahabat-sahabatku itu. Karena aku hijrah ke STAN.

Aku mesti meninggalkannya yang belum benar-benar sempurna menjadi kupu-kupu. Aku menjadi merasa bersalah. Karena secara tidak langsung dia harus menggantikan posisiku yang sudah terbentuk di sana. Manggantikan posisiku di kelas juga, yang berjuang bersama seorang rekan ikhwah. Aku yang juga menitipkannya pada ikhwan tersebut. Dia yang juga kebingungan merasa belum siap karena aku tinggal. Tapi ini semua telah berjalan. Dan telah terjadi.

1-2 bulan berlalu. Hingga satu semester telah ku genapi di tempat baruku. Lantas aku kembali menengok keadaan di kampusku dulu. Betapa terkejutnya aku mendapat kabar dari seorang teman.

”Ziy, tau gg lw. Sahabat-sahabat lw udah ngga sendiri semua?”

”Haa? Serius lw?”

”Serius. Mereka semua lagi susah diingetin. Lagi taraf berbunga-bunga semua.”

”Ya Allah, ada apa ini?”

Tiba-tiba aku teringet sepenggal episode masa lalu. Saat salah satu dari kami ada konflik dengan seorang cowok. Dimana temanku sedang gencar didekati oleh seorang cowok. Dengan harapannya di ending untuk menjalin hubungan. Aku dan dia berusaha sekeras mungkin untuk memagari upaya-upaya cowok tersebut. Berusaha menambal kegamangan temanku itu dengan berbagai macam penguatan untuk dia tidak menjalani pacaran. Alhamdulillah, kemungkinan terburuk bahwa dia akhirnya akan berpacaran tidak terlaksana. Aku ingat dia dulu yang sangat mewanti-wanti sahabatku yang belum berhijab untuk tidak mendekati pacaran dan jangan sampai merasakan juga pengalaman sakit yang dirasainya.

Aku masih ingat itu dengan jelas.

Tapi berita yang baru saja ku dapat itu membuatku tercengang. Mana ketakutan itu? Mana ketakutan yang justru membuatmu kuat untuk tidak terjerumus lagi ke dalam hubungan pacaran? Tersapu oleh apa? Terpaan rayuan dari pacarmu sekarang kah? Bisikan halus akan nikmatnya memadu kasihkah? Apa? Tolong katakan?

Dan aku kembali menangis.

Untuk kedua kalinya aku kecolongan. Seolah aku benar-benar tidak mampu berbuat apa-apa. Untuk membuat kalian kembali. Aku teramat merasa bersalah. Bilakah dahulu aku tidak meninggalkan kalian, kejadian ini tetapkah terjadi? Bilakah aku terus membersamai kalian, kalian tidak akan jauh seperti yang terjadi saat ini?

Adakah aku, muara kesalahan itu? Aku yang berada di posisiku saat inilah yang membuat aku semakin yakin bahwa akulah yang bersalah.

Maafkan aku, Sahabat!

Author: Faraziyya

Ordinary. Nothing Extra.

3 thoughts on “Adakah aku, muara dari kesalahan itu?”

  1. AssaLamu’aLaikum..

    saLam knaL ukhty,,
    iTu Jg yg tJd pd sy,,tp sy Jg mrasa kalo prinsip sy utk tdk pcrn mlai mmudar seiring dg b’Jlanx wktu..

    Sy Jg spt merestui hbgn shbt” sy dg pcarx..

    Y Allah,,astagfirullahal’adziim..

    LaLu,,ap yg muZTi sy Lakukan??

    Like

  2. mm. . yakinlah apa yang Alloh perintahkan, apa yang Alloh janjikan itu benar.

    tinggal pilih, kecintaan siapa yang ingin kamu genggam . .?

    berazzamlah . . ilmu dan hidayah itu luass,

    cari lagi syariat yg benar tentang hubungan ikhwan dan akhwat. jika telah benar sanadnya, apa lagi yang buat ragu untuk dijalankan??

    bersamai orang-orang sholeh . .

    agar selalu diingatkan dalam kebaikan. InsyaAlloh

    Like

Leave a comment